Pukul 2 siang kemarin.
Lokasi, my office.
Suddenly, "Bruuukkk!"
Bunyi benda jatuh mengagetkan kami, semua penghuni kantor.
"Apa itu?" semua berteriak mencari tahu sumber bunyi.
"Wei, tabrakan!!" segera beberapa orang menuju lokasi, jalan di depan kantor.
Seketika itu, puluhan orang berkerumun. Seorang pengendara motor terlihat tergeletak di pinggir jalan, tak bergerak.
"Telepon ambulan! Berapa nomornya?" salah satu kawan bergegas mencari telepon, dia langsung menekan nomor Rumah Sakit Provinsi yang memang dihafalnya.
Aku hanya melihat dari jauh, tak berani mendekat. Rasa kaget dan ngeri melihat kecelakaan lebih mendominasi.
"Masih bernafas ji," seru temanku yang juga melihat dari jauh.
Beberapa waktu kemudian, seorang kawan, satpam kantor dan dua warga setempat berhasil menggotong si korban naik ke atas mobil, rencananya akan dibawa ke rumah sakit.
Sayup-sayup terdengar celetukan seorang Ibu,
"Da mabok!"
"Bau minuman memang," temanku yang menolong memastikan.
Ya Allah, miras mengambil korban lagi...
Aku teringat peristiwa beberapa bulan sebelumnya. Seorang pria terbaring di jalanan. Dia terjatuh dari motornya tiba-tiba, mabuk!
Miras menjadi budaya di kampungku, sangat memprihatinkan. Tak jarang keramaian atau pesta disemarakkan dengan pesta minum. Tua dan muda, tak pandang usia. Berbagai jenis minuman lokal, seperti kameko (tuak) dan pongasi (arak beras), diproduksi rumahan dan bisa didapat dengan mudah.
Walau dalam agama telah diajarkan kalau minuman berakohol itu haram, namun masih saja menganggap kalau minum itu tak mengapa
Bahaya alkohol yang banyak tak dipedulikan, lebih mementingkan nikmatnya yang tak bertahan lama. Kerusakan hati, kecelakaan (seperti kejadian di atas), perkelahian serta kelainan otak, serta banyak akibat buruk lainnya, semua gara-gara alkohol dalam minuman keras. Peristiwa kekacauan di kampus lokal beberapa bulan lalu juga sedikit banyak bermula dari miras.
Kalau berharap dari kebijakan pemerintah daerah, mungkin tak bisa banyak. Ini bisnis besar, menghasilkan uang dan banyak pihak tak mau kehilangan pendapatannya. Sekali lagi, cuma bisa menjaga diri dan keluarga agar jauh-jauh dari pengaruh buruknya.
Hhhhh....
ReplyDeletedimana emang?
ReplyDeleteDaerah kantor saya, Mbak, Kendari.
ReplyDeletememprihatinkan! Adat istiadat yang masih berakar kuat. Tapi....kemana para ulama?
ReplyDeletesusah ya, kalau sudah membudaya...
ReplyDeletemungkin yang mereka maksud miras ya beer atau sejenisnya, kalau arak lokal tidak, ada kesalahan paradigma
ReplyDeletesemoga banyaknya korban akibat miras memberikan kesadaran bahwa ketika agama melarang itu karena membahayakan, karenanya jauhilah, sejauh-jauhnya.
ReplyDeleteSering dnger kejadian kek gni
ReplyDeletehmmm, ulama ada tapi ga didengar ;(
ReplyDeletesangat, mbak!
ReplyDeletedan ini yang jumlahnya lebih banyak dan lebih berdampak.
ReplyDeleteaamiin ;)
ReplyDeletebanyak di masyarakat ;(
ReplyDeletejadi inget lagu bang haji ......!
ReplyDelete"tak mau tak mau tak mau ....walau setetes"
mirasantika...
ReplyDeletepongasi? kameko?
ReplyDeleteapa itu? :D
walah bahaya "santika" akakak
ReplyDeletepura2 lagi ;P
ReplyDeleteSy kan polos :D
ReplyDelete