Kita adalah makhluk unik, yang sering dalam perjalanan hidup gelisah dan mencari identitas diri, siapa diri kita sebenarnya.
Begitu juga dengan saya. Menginjak SD kelas 4 atau 5 (persisnya saya lupa), saya mengungkapkan satu statement berani, "Jangan panggil saya Waode,itu bukan nama saya". Kecil-kecil saya sudah mem -brainwash teman2 saya untuk tidak memanggil saya begitu lagi. "Bukan nama, Waode itu bukan nama." pidato saya di depan teman2 lelaki*karena emang kebanyakan temannya cowok.
"itu hanya gelar,dan namaku ya muzdalifana".."dan panggil saja Pia". Untuk menghindari orang2 memanggil dengan nama itu, saya menyuruh mereka memanggil dengan nama kecil saya ,Pia.
Kurang jelas mengapa, saya tidak nyaman dengan panggilan "Waode". Di otak (yang ukurannya tak sebesar sekarang) kecil saya, itu hanya lah imbuhan atas nama saya yang sebenarnya. Jadi, orang-orang salah kalau memanggil begitu,
Tapi, hal itu tidak berlaku buat guru-guruku, tak ada nama lain. Titik, ndak pake koma atau tanda tanya.
Yang mengherankan, Bapak kok menambahkan kata-gelar itu di depan nama saya, padahal kedua kakak saya tidak. Sungguh aneh bin ajaib.
Dan, penderitaan itu pun berakhir. Saat pindah ke kampung, saya tak dipanggil begitu lagi, bahkan oleh guru sekalipun. Di sana banyak, Waode bertebaran..:).
*ps, di ibukota, aku pun pasrah kembali dipanggil "Waode".
hihihi, berat di :)
ReplyDeletekadang2 gelar2 itu bikin nda nyaman ya.
ReplyDeletekalo cuma ngebaca nama, orang2 suka manggil Pak ke saya, juga gara2 kata di depan nama yg mirip nama laki2. ufth...
itu gelar apa sih "waode" ????
ReplyDelete@yaya,Yap,bikin g nyaman. Karena tau bkan "punya" kita.
ReplyDelete@k ani,iya kak..berat,bs buat stress anak kecil y manis kek akyuu..:-* @rakhma, waode itu gelar di daerah muna dn buton,sulawesi tenggara.
ReplyDeletekalo dipikir2, berat tanggungjawabnya. tapi tidak setuju or tdk suka tidak serta merta membuat kita bisa melepas nama depan itu.
ReplyDelete