"Aku ga mau kawin ama orang Sunda," celetuk temanku.
"Kenapa?" tanyaku.
"Tukang selingkuh!"
"Orang Aceh juga. Sama aja, tukang kawin!"
Aku hanya mengangguk-angguk. Antara percaya dan tak percaya. Mungkin pengalamanku atau pengatahuanku tak sampai ke sana. Namun, yang aku bayangkan kalau jodohnya nanti ternyata di antara dua suku itu, gimana jadinya. Ribet dah jadinya. Bisa dibilang "kemakan omongan sendiri".
Soal suku dan mesti kawin dengan siapa sih belum ada buku tuntunan khusus yang pernah aku baca. Tapi, kalau dengan suku mana yang tak boleh dikawini oleh sukuku, Muna, ada dalam cerita tante dan om aku. Suku Tolaki.
Di masa SMA dulu, aku punya seorang teman yang lahir dari perkawinan Muna - Tolaki. Nah, aku sempat berbincang kecil dengan temanku yang lain soal ini, saat baru tahu kalau dia itu sebenarnya berdarah Muna juga.
"Eh, ndak boleh toh orang Muna dengan orang tolaki?" bisikku setengah bertanya ke temanku (yang kebetulan juga orang Muna). "Iyo, ndak boleh sebenarnya." Hmmmmmm.
Mitos ini kalau tak salah bermula dari perselisihan di masa lalu, antara kerajaan Muna dan Konawe (Tolaki) yang berdampak pada dilarangnya percampuran kedua suku. Namun, kisah lengkapnya, aku tak memiliki referensinya. Yang ada hanya cerita dari mulut ke mulut saja. Mitos yang perlu digali dan ditinjau lagi, buat persiapan cerita ke anak cucu biar tak mengulangi kebiasaan buruk nenek moyangnya.
Soal suku memang kadang-kadang buat ribet. Gak diperhatikan, kejadiannya sering ada dan bahkan terjadi di sekitar kita (dan mengalir di darah kita). Dipikirkan, malah-malah bisa buat pikiran yang tidak-tidak.
Masalah dengan orang Tolaki misalnya. Beberapa waktu lalu, timbul keributan di kampus Unhalu yang dipicu masalah suku (Muna dan Tolaki). Keributan yang berujung pada kerusuhan dan rawannya daerah sana. Masalah yang juga pernah dan sering terjadi. Mungkin juga karena jumlah orang Muna di daerah kampus Unhalu yang tergolong banyak (Orang Muna memang terkenal suka sekolah), jadi friksi dan benturan kemungkinan besar akan banyak terjadi. Atau mungkin masalah persaingan yang dibumbui aroma alkohol (kebiasaan minum minuman keras merata di semua suku).
Namun, meski begitu tak sedikit kawanku yang juga dari suku Tolaki. Apalagi ditambah seiman, berlipat-lipat deh persaudaraannya. Permasalahan di antara kedua suku kini kulihat sebagai dinamika saja, hanya ulah sekelompok orang yang terlalu mengagungkan kelompoknya dan berpikiran sempit. Semakin sempit jika ditambah alkohol di dalamnya.
Buat ikutan lomba yang ini. Mudah-mudahan gak nyinggung SARA.
Pfffff, bisa juga ternyata. Gambarumashio!!
"Kenapa?" tanyaku.
"Tukang selingkuh!"
"Orang Aceh juga. Sama aja, tukang kawin!"
Aku hanya mengangguk-angguk. Antara percaya dan tak percaya. Mungkin pengalamanku atau pengatahuanku tak sampai ke sana. Namun, yang aku bayangkan kalau jodohnya nanti ternyata di antara dua suku itu, gimana jadinya. Ribet dah jadinya. Bisa dibilang "kemakan omongan sendiri".
Soal suku dan mesti kawin dengan siapa sih belum ada buku tuntunan khusus yang pernah aku baca. Tapi, kalau dengan suku mana yang tak boleh dikawini oleh sukuku, Muna, ada dalam cerita tante dan om aku. Suku Tolaki.
Di masa SMA dulu, aku punya seorang teman yang lahir dari perkawinan Muna - Tolaki. Nah, aku sempat berbincang kecil dengan temanku yang lain soal ini, saat baru tahu kalau dia itu sebenarnya berdarah Muna juga.
"Eh, ndak boleh toh orang Muna dengan orang tolaki?" bisikku setengah bertanya ke temanku (yang kebetulan juga orang Muna). "Iyo, ndak boleh sebenarnya." Hmmmmmm.
Mitos ini kalau tak salah bermula dari perselisihan di masa lalu, antara kerajaan Muna dan Konawe (Tolaki) yang berdampak pada dilarangnya percampuran kedua suku. Namun, kisah lengkapnya, aku tak memiliki referensinya. Yang ada hanya cerita dari mulut ke mulut saja. Mitos yang perlu digali dan ditinjau lagi, buat persiapan cerita ke anak cucu biar tak mengulangi kebiasaan buruk nenek moyangnya.
Soal suku memang kadang-kadang buat ribet. Gak diperhatikan, kejadiannya sering ada dan bahkan terjadi di sekitar kita (dan mengalir di darah kita). Dipikirkan, malah-malah bisa buat pikiran yang tidak-tidak.
Masalah dengan orang Tolaki misalnya. Beberapa waktu lalu, timbul keributan di kampus Unhalu yang dipicu masalah suku (Muna dan Tolaki). Keributan yang berujung pada kerusuhan dan rawannya daerah sana. Masalah yang juga pernah dan sering terjadi. Mungkin juga karena jumlah orang Muna di daerah kampus Unhalu yang tergolong banyak (Orang Muna memang terkenal suka sekolah), jadi friksi dan benturan kemungkinan besar akan banyak terjadi. Atau mungkin masalah persaingan yang dibumbui aroma alkohol (kebiasaan minum minuman keras merata di semua suku).
Namun, meski begitu tak sedikit kawanku yang juga dari suku Tolaki. Apalagi ditambah seiman, berlipat-lipat deh persaudaraannya. Permasalahan di antara kedua suku kini kulihat sebagai dinamika saja, hanya ulah sekelompok orang yang terlalu mengagungkan kelompoknya dan berpikiran sempit. Semakin sempit jika ditambah alkohol di dalamnya.
Vokal Grup Kantola dari Muna (sumber dari wisata-muna.blogspot.com)
Penari Lulo dalam Baju Adat Tolaki (sumber dari sini)
***
Buat ikutan lomba yang ini. Mudah-mudahan gak nyinggung SARA.
Pfffff, bisa juga ternyata. Gambarumashio!!
pertamax ahh
ReplyDeleteSelamat jadi peserta
ReplyDeletePerbedaan memang indah kok
apapun sukunya, kalau sudah kena minuman khamar ya jadi jahat mbak.
ReplyDeleteaku ga mau nikah ama mba pia.. *yaeyaalaahh
ReplyDeletehahahaha
Ya wis..klimax
ReplyDeletekoq aku jadi inget kartun Aang the last airbender yak..
ReplyDeleteperang dua kubu.. hihihi pas ngelewatin lembah.. bebuyutan..
btw... jadi tau hehe
ReplyDeleteobrolan sejenis yg paling kuhindari~
ReplyDeleteselamat, dapat ucapan "Mulai dari nol, ya, mas!"
ReplyDeleteyap. Itulah mengapa kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.
ReplyDeletebetul, mas :(
ReplyDeleteyeeeee...
ReplyDeletehehe, ta' tinggal ngedit, malah banyak komennya.
ReplyDeleteSerem mah, Fajar. Pake parang dan panah segala. Mencekam deh, tanya si Raya, saksi hidup.
ReplyDeleteHahahahaa...situ ttg beda suku, aku soal beda agama hehehehe
ReplyDeleteyap, buat tambahan ilmu.
ReplyDeleteDan sedihnya banyak yang mengecap suatu suku dengan hal tertentu (steorotype).
ReplyDeleteMasihhhhh jadi draft punyaku
ReplyDeletePerbedaan itu indah, kalo nggak indah nggak akan jadi Indonesia
Seeeep postinganya
hohoho...wah padahal org sunda itu sesuatu bagiku XD
ReplyDeleteSepupuku nikah sama orang Muna looooh....cantikkkk banget...buaikkk banget...*komen spontan*
ReplyDeleteAyo, selesaikan drafnya ;)
ReplyDeleteterima kasih atas sumbangan nasakahnya dan sudah ikutan ya Pia...*peluk*
ReplyDeleteNaskahnya belum aku locked. Senin Insya ALLAH.
ihiiiir.
ReplyDeleteahai. Orang Muna ada yang kayak orang Arab (putih), tapi ada juga yang mirip orang Timor (hitam), Mbak.
ReplyDeleteSama-sama, Mbak. Eh, tadi ada yang linknya kosong, sudah diedit sih.
ReplyDeleteAku baru tau lho ada suku Muna, Tolaki *ketauan kuper* wkwkwk
ReplyDeleteSiaaaaaaaap graaaak
ReplyDeleteIndonesia kan ratusan (mungkin ribuan) suku, Lia. Yang kita gak tau masih banyak lagi.
ReplyDeleteUdah, tulis aja. Nanti lapor ke sini #eh
ReplyDeleteHuwaaaaaaaaaaaaaa.... tante py selangkah lbh maju. Baru maw setulis ttg pnikahan suku
ReplyDeleteGak sekalian?
ReplyDeleteAsalo maafu e.
ReplyDeleteDengan suku lain, mungkin? Muna vs ...?
aiii Raya keduluan.
ReplyDeletejadi kalo Pia sama orang tolaki nda papa ji to?
Hm, kasih tau ndak ya??
ReplyDeleteApa ajah yang penting muslim dan laki ;)
@ nte py.. setauku cuman tolaki yg dharamkan dinikahi,xixixi.. mmmmmm.. as we know that mslh adatnya.kaaan? ;D.. wkwkwkwk... rencana bsk subuh mw se posting, keduluan deewwhh ;p
ReplyDelete@ kk yaya. Kitorang generasi ke 10. Jd aman2 sj sm suku manapun, hihihihi.. yo toh wa tante?
ReplyDeletehahaha...
ReplyDeletebetul itu Pi. yg penting cocok dii.
generasi ke-10? ooo jd nda berlaku mi itu larangan?
ReplyDeletepara koruptor banyak juga loh yg ga ngebir...
ReplyDelete*Jangan Alchophopia dong.. (eh ada ga ya alchophobia?)
alchophopia apaan pak? *duduk manis nunggu penjelasan pak marto
ReplyDeletetypo itu naaak... waduh.
ReplyDeleteDalam Syariat Islam, definisi khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik mengandung alkohol atau tidak. Saat Rasulullah SAW masih berada di tengah-tengah ummat, untuk mengetahui apakah suatu minuman atau apapun bersifat khamr atau tidak, yang dipakai metode langsung. Yaitu jika minuman itu diminum oleh orang yang tidak pernah mabuk (bukan pemabuk) apakah dia akan mabuk atau tidak. Jika mabuk, maka itulah khamr yang haram untuk dikonsumsi, didistribusikan dan diperjual belikan kepada siapapun. Suatu definisi yang jelas, sederhana dan mudah untuk dipahami manusia selugu dan sebodoh apapun. Asalkan akalnya masih waras dan hati nuraninya masih hidup.
ReplyDeletekutip dari tulisan saya yang ini
Dalam konteksnya mempengaruhi reaksi tubuh dan kesadaran on the spot pada saat berkumpul dalam sebuah kelompok, Alkohol punya pengaruh yang lumayan kuat kan?
ReplyDeleteSaya cukup banyak bergaul dan banyak teman yang mengkonsumsi alkohol dalam berbagai bentuk. (mulai dari kelas Bir hingga Champagne). Dan mereka semua menyatakan kalau dengan Alkohol mereka lebih bebas dari belenggu kesadarannya..lebih terbuka..Apalagi di negara yg budayanya cukup ketat seperti Jepang, bahkan di Jermanpun banyak yg membutuhkan alkohol untuk bisa tertawa atau rileks dan melupakan beban tanggung jawab kesadaran.
Pada paragraf yang saya ungkapkan di atas sebaiknya dinilai netral bukan pro atau kontra terhadap konsumen alkohol. Bebas nilai, sekedar data.
Hanya saja yg kemudian saya pikirkan adalah akibat miras yang tidak terkontrol.
Sebagaimana di negeri-negeri dimana alkohol bukan barang "Haram", mengkonsumsinya pun tetap juga dibatasi usia, kondisi (gila kan kalau memegang kendali kemudi dalam keadaan mabuk?), Centraal Station / Hauptbahnhof melarang pemabuk mendekati "Spoor" atau "Gleis" alias peron dan razia cukup sering terjadi karena maraknya kecelakaan.
Para Anarkis yang idealis dan tidak egois, ketika kontrol kesadarannya hilang dan direbut oleh kondisi mabuknya, seringkali sama saja dengan orang yang salah kaprah menilai anarki sama dengan vandalis. Dalam keadaan mabuk, mereka jadi lupa kalau Anarkisme beda dengan Vandalisme!
Terbayang jika di sebuah masyrakat negara berkembang (atau bahkan cenderung terbelakang) dengan sifat 'genetik' suka korup, egois, culas, pengecut, gampang dihasut, penuh stereotype, emosional dan 'lapar' dalam suasana berkelompok yang tidak terbatas, mengkonsumsi Alkohol.
.
.
.
"Lha gak ngebir aja korup......"
Edited, tambahan kata dan perbaikan typo
karena itulah anakmu ini harus banyak belajar, bapak. jangan kapok yaa.. :D
ReplyDeleteMetode yang amat sangat sederhana dan meragukan untuk bisa sampai keluar pernyataan "yg sedikitnya haram, begitu pula banyaknya".
ReplyDeleteSuatu metode yang rapuh untuk dipahami manusia selugu dan sebodoh apapun. Asalkan akalnya masih waras dan hati nuraninya masih hidup.
atau larangannya berangkat dari keyakinan tertentu kali?
ReplyDeletemisalnya jika menikah dengan orang dari suku ini maka akan begini dan begini ..
Apapun sukunya,semua tergantung karakter pribadi orang itu ya. . .
ReplyDeleteAih setiap baca postingan soal Kendari dan sekitarnya
ReplyDeleteSelalu saja membangkitkan keinginan pulang kampung
Membawa kenangan saya ke tahun2 saya bergaul dengan suku2 yang disebutKan di atas
Mengingatkan saya sama sahabat2 saya yg beragam dari suku tolaki, muna, buton, bugis dll....
Ah, intinya saya kangen Kendari
Baru denger nama sukunya. Ada marga-marga gitu nggak Mba? Kya padang dan batak.
ReplyDeletebaju adat tolakinya baguuus
ReplyDeleteGanbatte kudasai... #eh
ReplyDelete*nyarinyari sinonggi..
ReplyDeletemitos selalu jadi penghalang ya.. bukannya digebrak aja mitos..
tetanggaku orang muna loh.. baik hatiiiii.. *mo mampir minta dibikinin sinonggi & palumara..
Tulismi saja juga pale, sebagai pembanding.
ReplyDeleteHitungan dari mana ini, sa nda tau hitung2 generasi, hihi
ReplyDeleteMasih kurang jelas juga kenapa. Mungkin dari masalah di masa lampau yang diwariskan ke anak cucu.
ReplyDeleteYap. Dan karakter keluarganya, beberapa masalah rumah tangga bisa juga karena gak cocok ama kebiasaan keluarganya *sotoy*.
ReplyDeleteMaka akan saya tulis terus ttg Kendari biar kak Arni tambah kangen.
ReplyDeleteOrang buton jg sama, katanya nda boleh nikah sama orang tolaki ato orang selayar
ReplyDeleteKalo Tolaki beberapa ada yang pakai marga. Muna gak ada.
ReplyDeletebling-bling^^
ReplyDeletearigato gozaimasu^^
ReplyDeletehaha. Abis makan, jangan lupa potonya, Mbak.
ReplyDeletehah? Kalo Selayar kenapa kak, pernah ada kles ka dengan Buton?
ReplyDeleteneh,,neh,,nehiiii *geleng2poni* ;-D
ReplyDeleteMba aku senyum2 sendiri bc paragraf pertama karena pada akhirnya si sunda dan si aceh nikah. Aku sunda suami aceh hehe
ReplyDeleteMba aku senyum2 sendiri bc paragraf pertama karena pada akhirnya si sunda dan si aceh nikah. Aku sunda suami aceh hehe
ReplyDeleteah iyaya stigma semacam itu kepada suku2 tertentu pernah terdengar....
ReplyDeleteorang muna suka sekolah di :D
ReplyDeletesebagai pengalihan atas kehidupan yang aneh
Mau ditulis? Katanya mau ikut, kan Naz?
ReplyDeletePu, ndak aneh ji Muna, cuman keringji.
ReplyDeleteada pengalaman memang dan insya Allah mau ikutan...
ReplyDeleteAroma kesukuannya masih kental ya Kak. Saya di sini temenan sama orang-orang dari macem-macem suku, tapi masing-masing membaur banget, kadang malah sampe terkesan nggak ada ciri khas suku masing-masing. Jadi namanya orang Jawa, orang Sunda, orang Batak, itu cuma tempat kelahiran orangtua yang kurang dianggep. Padahal seru tuh kalo masing-masing nonjolin 'kesukuan' mereka. Biar saling tau budaya satu sama lain, ngeluasin wawasan budaya kan.
ReplyDeleteKayaknya enak deh tinggal di daerah-daerah yang masih kental kesukuannya.
Ada enak dan gak enaknya juga.
ReplyDeleteMenyimak dan belajar di sini ya tentang perbedaan suku, terutama Muna dan Tolaki.
ReplyDeleteSeharusnya memang generasi berikutnya (yang terlahir di masa modern) bisa semakin dewasa dalam menyikapi perbedaan.
Generasi sekarang siy kayaknya sudah jarang yang tau, pak.
ReplyDelete--- LOCKED ---
ReplyDeleteAhai, resmi dah ikut :)
ReplyDeleteMakasih mbak Lessy.
kalau dilihat fotonya... tidak jauh beda :)
ReplyDeleteDi kampung juga ada yang kaya gitu, warga kampungku ga boleh nikah sama warga kampung sebelah, itu udah sumpah para tetua jamaannn beheula...
ReplyDeleteHahaha... iyo betul mi Pia.
ReplyDeleteTolaki dan Muna memang susah. Jarang memang ada keturunan dari kedua suku itu.
kalo aslinya, beda pak.
ReplyDeleteSumbar? Wah, tulis dong Fisra ;)
ReplyDeleteHehe, susah tapi adaji.
ReplyDelete*Ternyata, Nur orangnya imut, hihihi*
Hehehe... tidak rencana itu Pia.
ReplyDeleteDari rumah yang di Wua2 toh, trus singgah ke Amanda, beli Pisang Ijo untuk buka puasa. Dari pada di suruh nunggu di mobil, saya kabur ke rumah Pia hehehe... Tidak bilang2 itu, mereka kira saya ke Mega Matahari.
Marga2 Tolaki seperti Silondae, Tombili, Sinapoy, Liambo
ReplyDeleteMisal: Abdullah Silondae (nama mantan Gubernur Sultra)
Sedang Muna (dan Buton) menggunakan La Ode (untuk laki2) dan Wa Ode (untuk perempuan) di depan nama mereka.
Misal: Wa Ode Pia
Saya sendiri susah membedakan nama orang Muna dan Buton karena sama2 menggunakan nama depan yang sama.
*koreksi kalo ada yang salah nah Pia :)
Wa Ode dan La ode itu bukan marga, seperti gelar saja.
ReplyDeleteAgak ribet juga ya urusan antar suku kalo udah bermula sejak nenek moyang begini. Apalagi masalah perjodohan. Persis seperti marga capulet & montague di cerita klasik romeo & juliet hehe.
ReplyDeleteSelamat berlomba ya, pia :)