tonde mata..tonde mata..
tonde mata..tonde mata..*diiringi suara meja yang dipukul dengan irama 4/4
Entah angin apa yang membuaiku siang itu.
Selepas mata pelajaran bahasa daerah, bahasa Muna, saya mendendangkan lagu gak jelas tersebut.
Tonde mata, kaca mata dalam bahasa Muna, adalah salah satu kata yang "berhasil" saya pelajari dan koleksi lagi ke kepala yang anehnya gak pernah bisa menyuruh lidah saya untuk melafalkan bahasa tersulit di dunia-bagi saya, dengan baik dan benar.
Mula mula hanya irama yang biasa, dan hanya saya yang mendendangkannya.
Tapi, lama kelamaan, mulai deh teman-teman yang lain ikutan, buat ramai...riuhhh.
Dan, sebagai ketua kelas yang baik, saya musti mengikuti kemauan "anak buah" saya tersebut. Ruang kelas satu-tujuh pun tambah rusuhhhhh. *flashback kelas satu es em pe
Kaca mata. Bagi saya, orang yang memakai kaca mata itu keren, pokoknya terlihat pintar, apapun isi otaknya. Dan, saudara saya yang pertama memakai kaca mata adalah adik saya di kelas 3 SMP. Prestasinya, lumayan. Satu lagi anak berkacamata yang "memang" pintar. . Awalnya sih rabun senja, rabun yang dimulai saat senja, mirip-mirip ayam. Lama-lama jadi minus, rabun jauh.
Kakak saya juga pakai kacamata, walo gak selalu. Ayah saya, ibu juga. Cuman saya dan kakak laki-laki yang tidak.
Saat kuliah, mata saya masih baik-baik saja. Tapi, setelah lulus dan balik ke kampung, saya mulai merasakan hal yang tak biasa*syahrini mode. Pandangan terlihat kabur setiap menjelang malam hari, seperti ada pasir di mata. Tapi, tidak ngeh juga kalo ini penyakit, bukan "perasaan ku saja".
Pada saat tes penerimaan pengajar, kondisi mata tak membaik. Saya masih belum sadar juga, kalo mata saya minus. Hingga, akhirnya pencerahan datang *saya lupa apa momennya, pokoknya langsung tau kalo ini penyakit.
Segera saya membeli mencari pertolongan, kacamata. Bukan ke dokter mata, tapi langsung ke optik. Bersama mama, dan dengan uang mama (maklum, belum punya penghasilan sendiri), kami membeli sebuah kacamata-frame dan lensa plastik, yang super duper ringan (rasanya seperti tak berkacamata).
Sebenarnya, dalam tataran per-rabun jauh-an, saya masih tergolong ringan. Saya tidak memakainya di dalam rumah, Tapi, kalau sudah keluar rumah dan berada di ruang yang luas apalagi di malam hari, pasti terasa sekali kebutuhan berkacamata.
Sehingga, selama hampir lima tahun ini , saya dikenal sebagai pia ber-kacamata.
Tapi, siang ini berbeda. Gara-gara ai, yang postingannya akhir2 ini tentang tak berkacamata, saya tertantang. Dan, tak berkacamatalah saya sepulang kantor. Lumayan, rasanya puyeng-kabur bebayang-geje, nano2. Ditambah suasana mendung, agak gelap dan meminimalkan pencahayaan alam, lengkaplah semua. Alhamdulillah, selamat sampai di rumah.
Bagaimana dengan besok?....asking to the moving grass ^^
Owh,rumputnya sudah dipotong kemarin. Hehe,
ReplyDeleteMinus brp mba?
ReplyDelete@mb ummu, rumput sekarang hebat mb, bru dpotong pagi,soreny udah tmbh gede lg..rumput instan.
ReplyDelete@rifi, ga ckp satu..masih ringan, alhamdulillah segtu2 aj, ga naek.
ReplyDeleteYa ampun postingan ini membuka kenangan masa laluuuuu
ReplyDeleteSaat aku begitu tergila2nya pada pria berkacamata hihihi
@k arni, pasti kita liat itu org kereenn skali to? Hehe..
ReplyDelete@k arni, pasti kita liat itu org kereenn skali to? Hehe..
ReplyDeleteKalo ko paksa matamu, takutnya minusnya tambh besar. Ko pake sj maunya:-)
ReplyDeleteNdak pernah naik selama ini kak, stbil ji..alhamdulillah
ReplyDeleteNdak pernah naik selama ini kak, stbil ji..alhamdulillah
ReplyDelete